Kalimantan pulau terbesar hutan tropis di dunia yang kaya akan fauna dan flora.
Alam kalimantan adalah paru-paru dunia.
Baca juga : Menjelang 28 agustus demo nasional terbesar 2025
Baca juga : Mengenang Para Pahlawan Pejuang Reformasi 98
Baca juga : pola pikir anak muda STM tentang masa depan
Baca juga : TRAGEDI1998 JILID 2 TAHUN 2025 #IND0NESIA GELAP

Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia dan rumah bagi salah satu hutan hujan tropis terkaya, kini menghadapi ancaman serius. Julukan “paru-paru dunia” semakin pudar karena deforestasi, pertambangan, perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur yang tak terkendali. Fenomena ini membuat Kalimantan seolah “terkikis” sedikit demi sedikit, baik dari segi ekologis, sosial, maupun budaya.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Kalimantan mengalami kondisi yang mengkhawatirkan. Hutan-hutannya ditebang, tanahnya dieksploitasi, sungainya tercemar, dan budaya lokal perlahan terpinggirkan. Secara metaforis, pulau ini sedang “terkikis” dari berbagai sisi: ekologi, sosial, budaya, hingga fisik. Artikel ini mencoba menguraikan fenomena tersebut dan mencari jalan keluar sebelum terlambat.
Terkikisnya Lingkungan dan Ekosistem
Deforestasi Masif
Salah satu wajah paling nyata dari terkikisnya Kalimantan adalah deforestasi. Data dari berbagai lembaga lingkungan menunjukkan bahwa jutaan hektare hutan di Kalimantan telah hilang dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Penyebab utama adalah pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan batu bara, dan infrastruktur.
Pembukaan hutan yang semula dilakukan dengan dalih pembangunan kini justru menjadi bumerang. Hutan yang seharusnya menyerap karbon dan menjaga keseimbangan iklim global berubah menjadi lahan kritis yang rentan longsor, banjir, dan kebakaran. Kalimantan, yang dulu digambarkan sebagai hutan lebat yang nyaris tak tertembus, kini memperlihatkan luka besar berupa lahan gundul.
Krisis Keanekaragaman Hayati
Hutan Kalimantan adalah rumah bagi ribuan spesies, termasuk yang terancam punah. Orangutan, bekantan, macan dahan, dan berbagai jenis burung endemik sangat bergantung pada keberadaan hutan. Saat habitat mereka hilang, satwa-satwa tersebut semakin sering muncul di area permukiman manusia. Konflik antara manusia dan satwa pun meningkat. Ironisnya, banyak satwa liar yang akhirnya diburu atau mati karena dianggap mengganggu.
Kerusakan Sungai dan Air
Selain hutan sungai-sungai Kalimantan juga ikut terkikis kualitasnya. Pertambangan emas ilegal yang menggunakan merkuri telah mencemari air sungai. Penambangan batu bara menyebabkan sedimentasi tinggi, sehingga sungai dangkal dan sering meluap. Padahal, bagi masyarakat Kalimantan, sungai bukan hanya jalur transportasi, tetapi juga sumber air minum, tempat mandi, dan bagian dari budaya. Kini, sungai-sungai yang dulu jernih berubah keruh dan beracun.
Terkikisnya Kehidupan Sosial Masyarakat Lokal
Konflik Agraria dan Kehilangan Ruang Hidup
Masyarakat adat, khususnya Dayak, adalah pihak yang paling terdampak dari ekspansi besar-besaran perkebunan dan tambang. Tanah adat mereka kerap diambil alih dengan dalih izin konsesi. Konflik agraria sering meletus, bahkan tak jarang berujung kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan tanah leluhur mereka.
Bagi masyarakat Dayak, tanah bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga warisan spiritual. Hilangnya tanah adat berarti hilangnya ikatan dengan leluhur dan hilangnya ruang hidup generasi berikutnya.
Dampak Kesehatan dan Bencana
Kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun melanda Kalimantan memunculkan kabut asap pekat. Ribuan orang menderita penyakit saluran pernapasan. Sekolah terpaksa diliburkan, aktivitas ekonomi lumpuh, dan kualitas hidup menurun drastis. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak kesehatan jangka panjang.
Selain asap, banjir juga menjadi bencana rutin di banyak wilayah Kalimantan. Hutan yang gundul tak lagi mampu menahan air hujan, menyebabkan sungai meluap dan menenggelamkan permukiman. Ironisnya, bencana ini seringkali menimpa masyarakat kecil, sementara keuntungan dari tambang dan sawit justru dinikmati segelintir pihak.
Ketergantungan Ekonomi pada Industri Ekstraktif

Ketika tanah adat hilang, banyak masyarakat adat terpaksa bekerja di perkebunan sawit atau tambang. Namun, pekerjaan tersebut sering tidak memberikan jaminan kesejahteraan jangka panjang. Upah rendah, kondisi kerja yang berbahaya, serta ketidakpastian kontrak membuat mereka semakin rentan. Ketergantungan ini membuat masyarakat sulit keluar dari lingkaran kemiskinan struktural.
Terkikisnya Budaya dan Identitas Lokal
Hutan bagi masyarakat Dayak adalah pusat kehidupan. Di dalamnya tersimpan makna spiritual, sumber obat-obatan tradisional, bahan pangan, hingga simbol identitas. Ritual adat seperti gawai dan nyobeng tidak bisa dilepaskan dari keberadaan hutan.
Namun, seiring hilangnya hutan, perlahan budaya dan kearifan lokal ikut terkikis. Generasi muda Dayak banyak yang meninggalkan kampung untuk bekerja di kota atau perusahaan tambang. Mereka terputus dari tradisi, bahasa, dan nilai-nilai leluhur. Jika tren ini terus berlanjut, dikhawatirkan budaya Dayak hanya akan tersisa dalam catatan sejarah, bukan dalam praktik hidup sehari-hari.
Terkikisnya Pulau Secara Fisik
Selain aspek ekologis dan sosial, Kalimantan juga mengalami pengikisan daratan secara fisik. Abrasi pesisir semakin parah akibat perubahan iklim dan penebangan mangrove. Beberapa wilayah pesisir di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur telah kehilangan daratan karena tergerus gelombang laut.
Selain itu, penambangan pasir laut yang tidak terkendali memperparah abrasi. Jika tidak ditangani, ancaman naiknya permukaan laut bisa membuat sebagian wilayah pesisir Kalimantan tenggelam dalam beberapa dekade ke depan.
Jalan Keluar: Menjaga Kalimantan dari Kepunahan
Rehabilitasi Hutan dan Ekosistem
Restorasi ekosistem harus menjadi prioritas. Reboisasi, perlindungan gambut, serta penghentian izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan menjadi langkah konkret. Selain itu, program carbon trading dapat menjadi solusi ekonomi yang memberikan insentif bagi pelestarian hutan.
Pengakuan Hak Masyarakat Adat
Perlindungan tanah adat adalah kunci menjaga hutan. Masyarakat adat terbukti mampu menjaga hutan lebih baik daripada korporasi. Penguatan hak-hak masyarakat adat akan memberikan ruang bagi mereka untuk mengelola hutan secara berkelanjutan berdasarkan kearifan lokal.
Diversifikasi Ekonomi
Ketergantungan pada sawit dan tambang harus dikurangi. Kalimantan memiliki potensi besar di bidang ekowisata, produk hutan non-kayu, dan industri kreatif berbasis budaya. Pembangunan ekonomi yang beragam tidak hanya lebih berkelanjutan, tetapi juga memberi peluang kerja yang lebih sehat bagi masyarakat lokal.
Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum
Pemerintah perlu tegas menindak pelanggaran lingkungan. Penegakan hukum yang konsisten terhadap perusahaan nakal akan menciptakan efek jera. Selain itu, transparansi izin usaha dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan sangat penting untuk mencegah eksploitasi berlebihan.
