Kehidupan diBawah Jembatan yang Terlupakan

Kehidupan diBawah Jembatan yang Terlupakan

Di balik wajah megah kota-kota besar, selalu ada ruang-ruang yang tersembunyi dari pandangan umum.
Gedung pencakar langit, jalan layang, dan pusat perbelanjaan memang merepresentasikan kemajuan,
tetapi di sela-selanya ada kehidupan lain yang sering kali luput dari perhatian kehidupan di bawah jembatan.

Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan
Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan

Baca juga : Kreatifitas Seni Pahat Batu Warisan Abadi
Baca juga : lika liku perjalan karier paris fernandes
Baca juga : Mabar Free Fire bagi Anak Dampak Nyata
Baca juga : Petualangan Mendaki Gunung Merbabu
Baca juga : Inovasi Perkebunan Pohon Mangga Berkualitas
Baca juga : jejak karier achmad jufriyanto

Bagi sebagian orang, jembatan hanyalah infrastruktur transportasi. Namun bagi kelompok masyarakat miskin kota, jembatan berubah fungsi menjadi tempat berlindung, tempat beristirahat, bahkan rumah yang mereka tempati bertahun-tahun. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Surabaya, Medan, Bandung, dan kota-kota besar lain di Indonesia. Kehidupan di bawah jembatan adalah cermin nyata ketimpangan sosial, di mana modernisasi berjalan berdampingan dengan kemiskinan ekstrem.

Mengapa Jembatan Menjadi Rumah?

Ada sejumlah faktor yang membuat sebagian orang akhirnya tinggal di bawah jembatan:

  1. Kemiskinan Struktural
    Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sekitar 25,9 juta orang. Di perkotaan, angka kemiskinan mencapai 7,29%. Kemiskinan membuat sebagian keluarga tidak mampu membayar sewa kontrakan, apalagi membeli rumah.

  2. Urbanisasi Tinggi

    Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan
    Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan


    Setiap tahun, ribuan orang datang ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Namun, lapangan kerja formal tidak selalu tersedia. Akibatnya, banyak yang terjebak dalam pekerjaan informal dengan penghasilan tidak tetap. Mereka yang gagal bertahan akhirnya mencari tempat tinggal murah, bahkan gratis, dan jembatan menjadi salah satu pilihan.

  3. Fungsi Proteksi Alami
    Jembatan memiliki struktur beton kokoh yang melindungi dari hujan dan panas. Ruang kosong di bawahnya dianggap cukup aman dibandingkan tidur di trotoar terbuka.

  4. Dekat dengan Sumber Penghasilan
    Kebanyakan penghuni jembatan bekerja di sektor informal: mengamen di lampu merah, mengemis, memulung, atau berjualan kecil-kecilan. Tinggal di bawah jembatan yang dekat dengan jalan raya mempermudah akses mereka ke sumber penghasilan harian.


Potret Kehidupan Sehari-hari

Hidup di bawah jembatan bukan sekadar “tidur di emperan.” Ada dinamika sosial yang terbentuk di sana.

Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan
Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan
  1. Tempat Tinggal Darurat
    Rumah-rumah di bawah jembatan biasanya terbuat dari tripleks, terpal, atau kayu bekas. Beberapa bahkan hanya beralaskan kardus. Ruang sempit itu dihuni satu keluarga dengan 3–6 anggota.

  2. Sanitasi dan Kesehatan
    Tidak ada akses air bersih dan toilet layak. Untuk mandi dan mencuci, mereka menggunakan sungai terdekat, meski airnya kotor. Anak-anak rawan terserang diare, infeksi kulit, dan penyakit pernapasan karena debu serta polusi kendaraan.

  3. Pekerjaan Sehari-hari

    • Mengamen: Anak-anak dan orang dewasa turun ke jalan saat lampu merah menyala.

    • Memulung: Mencari barang bekas yang bisa dijual ke pengepul.

    • Buruh serabutan: Membantu bongkar muat di pasar atau proyek bangunan.

    • Mengemis: Mengandalkan belas kasihan pengguna jalan.

  4. Anak-anak Tanpa Akses Pendidikan
    Banyak anak di bawah jembatan tidak bersekolah karena orang tua tidak mampu membayar seragam dan buku. Sebagian mengikuti sekolah informal yang diadakan relawan, tetapi jumlahnya terbatas.

  5. Keamanan dan Ancaman
    Hidup di bawah jembatan penuh risiko: penggusuran mendadak oleh aparat, bentrok antar kelompok, tindak kriminal, hingga kecelakaan lalu lintas. Mereka hidup dalam ketidakpastian, setiap saat bisa kehilangan tempat tinggal seadanya.


Kisah Nyata

Di Jakarta, misalnya, terdapat komunitas yang tinggal di bawah jembatan tol Pluit, Penjaringan. Beberapa keluarga sudah tinggal di sana lebih dari 10 tahun. Mereka membangun gubuk dari papan dan seng bekas.

Seorang ibu bernama Nurhayati (nama samaran), 38 tahun, tinggal bersama tiga anaknya di ruang 3×4 meter. Suaminya bekerja sebagai pemulung dengan penghasilan Rp30.000–Rp50.000 per hari. Anak sulungnya terpaksa berhenti sekolah karena harus membantu mengamen di lampu merah.

“Kalau hujan deras, air masuk semua. Kadang kami tidak bisa tidur karena banjir,” kata Nurhayati kepada seorang relawan sosial.

Kisah seperti ini bukan hanya satu atau dua. Di kota besar lain, fenomenanya serupa. Di Surabaya, kawasan di bawah jembatan Wonokromo pernah menjadi pemukiman liar yang dihuni puluhan keluarga sebelum akhirnya digusur pemerintah.


Data dan Fakta

Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan
Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan
  • Jumlah Tunawisma
    Menurut data Kementerian Sosial (2022), terdapat lebih dari 16.000 tunawisma di Indonesia, meski angka sebenarnya diperkirakan lebih tinggi karena banyak yang tidak tercatat.

  • Pemukiman Liar
    Pemerintah DKI Jakarta mencatat ada sekitar 400 titik pemukiman liar pada 2021, termasuk di kolong jembatan dan bantaran sungai.

  • Kesehatan
    Studi LSM Sahabat Anak (2020) menunjukkan bahwa anak-anak jalanan memiliki risiko penyakit TBC tiga kali lebih tinggi dibanding anak-anak yang tinggal di rumah layak.

  • Pendidikan
    UNESCO (2019) memperkirakan ada sekitar 2,5 juta anak di Indonesia yang tidak bersekolah, sebagian besar berasal dari keluarga miskin perkotaan dan penghuni pemukiman liar.


Dampak Sosial

  1. Stigma Negatif
    Masyarakat sering memandang penghuni bawah jembatan sebagai “sampah kota.” Padahal, mereka hanyalah korban sistem yang tidak adil. Stigma ini membuat mereka semakin terpinggirkan.

  2. Kerentanan Kriminalitas
    Minimnya perlindungan membuat anak-anak jalanan rentan direkrut oleh geng atau sindikat kejahatan. Perempuan pun rentan mengalami kekerasan seksual.

  3. Keterasingan Sosial
    Hidup di bawah jembatan membuat mereka tidak memiliki alamat resmi. Tanpa alamat, sulit mengakses layanan publik, seperti KTP, BPJS, atau bantuan sosial.


Upaya Pemerintah dan LSM

  1. Program Relokasi

    Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan
    Kehidupan diBawah Jembatan Realitas yang Terlupakan


    Pemerintah DKI Jakarta beberapa kali melakukan relokasi penghuni kolong jembatan ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Namun, banyak yang kembali ke jalan karena tidak mampu membayar sewa atau jauh dari tempat mencari nafkah.

  2. Bantuan Sosial
    Program PKH (Program Keluarga Harapan) dan bantuan sembako diarahkan untuk keluarga miskin. Namun, akses sulit karena banyak penghuni kolong jembatan tidak memiliki dokumen resmi.

  3. Inisiatif LSM dan Komunitas

    • LSM Sahabat Anak mendirikan sekolah informal untuk anak-anak jalanan.

    • Komunitas relawan rutin membagikan makanan dan kebutuhan dasar.

    • Beberapa organisasi keagamaan membuka posko kesehatan gratis.


Solusi

Kehidupan di bawah jembatan adalah simbol paradoks kota modern. Sementara jalan di atas jembatan dipenuhi mobil pribadi, motor, dan truk yang melintas setiap hari, di bawahnya ada keluarga-keluarga yang berjuang sekadar untuk makan.
Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan penggusuran. Akar masalahnya adalah ketidakmampuan sistem menyediakan perumahan murah, pekerjaan layak, dan jaminan sosial bagi kelompok miskin kota. Tanpa itu, kehidupan di bawah jembatan akan terus ada.
Kehidupan di bawah jembatan mengajarkan kita bahwa kota tidak hanya dihuni oleh mereka yang mampu membeli rumah atau menyewa apartemen. Kota juga dihuni oleh mereka yang setiap hari harus berjuang untuk sekadar tidur di tempat aman.
Selama kita menutup mata terhadap kenyataan ini, jembatan-jembatan di kota besar akan tetap menjadi “rumah sementara” bagi mereka yang tidak punya pilihan lain. Membuka empati, mendukung kebijakan perumahan rakyat, serta memperluas akses pendidikan dan kesehatan adalah langkah penting untuk memastikan bahwa suatu hari nanti, tidak ada lagi keluarga yang harus hidup di bawah jembatan.